Kamis, 25 Juni 2015 - Ini sekilas kisah ekspedisi gunung Sangiang. Waktu menunjukan pukul 17.30 WIT, kami memulai perjalanan dari Pos 1 tempat tenda dan satu-satunya sumber air bersih, bergegas mengisi masing-masing jerigen ukuran 5 liter yang telah disediakan sebelumnya, sedangkan beberapa orang menunggu di bawah sambil menjaga perahu yang kami gunakan, karena memang pemilik bot bersedia menunggu hingga kami kembali. Pendakian kali ini direncanakan hanya 1 malam, hal ini dikarenakan tidak adanya sumber air di atas gunung dan kami harus bisa menghemat air semaksimal mungkin. Jumlah pendaki kali ini kurang lebih 20 orang.
Hari ini nampaknya sang bulan belum terlihat muncul, entah lah jika tidak salah pendakian ini dilakukan pada pertengahan tahun 2009. Setelah menyusuri bibir pantai tiba waktunya perlahan naik melewati sungai lahar di mana Abu Vulkanik masih bisa dilihat, sedangkan di samping kiri dan kanan kami hanya terlihat pohon Bidara, sesekali saya coba, rasanya lumayan pahit karena memang di sini tidak ada sumber air.
Perlahan tapi pasti akhirnya pepohonan Bidara berhasil dilewati, Subhanalloh... kami mulai memsauki padang Safana di mana hanya pohon alang-alang yang tumbuh, sejenak pandangan ini menoleh ke atas, nampaknya masih jauh dan terlihat sedikit hutan lebat di tengah punggung gunung. Waktunya sholat maghrib, sy bergegas mengumandangkan Adzan untuk pertama kalinya (semoga bisa kembali ke sana) di gunung Sangiang ini, air mata hampir saja menetes, lantunan adzan dan sambil menatap ke arah lautan. Ya Alloh... begitu hebat Engkau ciptakan semua ini.
Bergegas para pendaki lain berwudhu, ada yang tayamum dan sebagian ada yang menggunakan air, segera kami laksanakan sholat maghrib, lantunan merdu suara sang imam membuat suasana hening, saat itu begitu menyentuh, karena memang kondisi sunyi dan hanya terdengar suara jangkrik dan tiupan angin serta pemandangan lautan indah.
Selepas menunaikan sholat Maghrib, segera kami bergegas melanjutkan perjalanan, kembali nasyid-nasyid dimainkan melalui handphone, kami terus berjalan setapak demi setapak sambil mengikuti petunjuk jalan, waktu malam tiba, semua senter dikeluarkan sedangkan suhu udara semakin dingin. Padang safana masih terlihat, dan sekitar pukul 10 malam, kami memasuki hutan belantara nampaknya ini bagian tengah gunung itu artinya perjalan kami sudah sampai di pertengahan.
Gerrrkkkk,,,,, sesekali suara perut yang sudah mulai keroncongan, namun tanda-tanda untuk istirahat nampaknya belum ada perintah, mau tidak mau kami harus terus berjalan, sampai pada tengah hutan, sy masih ingat pada saat itu kami istirahat di samping pohon besar, mulai para pendaki memasak untuk sejenak mengisi perut. Sebagian ada yang istirahat sambil melepas lelah, sedangkan air mulai menipis.Suhu udara begitu dingin, suara-suara hewan liar jelas terdengar malam itu.
Setelah selesai mengisi perut, kembali kami melanjutkan perjalanan, jalur mulai memasuki wilayah ekstrim, di samping kiri kami hutan lebat dan sebelah kanan kami jurang yang jika lengah maka akan terjatuh entah ke mana, sebagian pendaki ada yang menangis karena teringat anak istri dan sebagain lagi tetap melanjutkan perjalanan.
Sy sendiri sempat menyerah akibat suhu udara yang begitu dingin, maklum ini pengalaman pertama mendaki dan tentu saja perlengkapan yang dibawa bukan perlengkapan standar keamanan pendakian, sejenak saya tidur di tengah jalan sambil melepas lelah bersama dua orang pendaki. setelah tenaga dirasa cukup, kembali sy lanjutkan perjalanan.
Singkat cerita, kami sampai pada puncak pertama pukul 2 dini hari, dan itu tenaga terakhir sy dan bersama beberapa orang pendaki, selebihnya petunjuk jalan bersama dua orang lainya tetap melanjutkan perjalanan menuju puncak utama (2) yang terlihat masih hitam akibat bekas ledakan. Sy menyerah dan tidur di puncak pertama, berikut foto pemandangan puncak pertama, foto ini diambil dari pendaki lain, karena semua file sy hilang.
Waktunya sholat subuh, dan sedikit lucu saat itu ketika sunrise muncul kami baru sadar ternyata salah kiblat, sedikit tertawa bersama pendaki lainya, sejenak kami saksikan sunrise yang mulai terlihat, subhanallah... begitu indah.
Puas menyaksikan sunrise, kami bergegas turun, kami mulai melakukan perjalanan pulang skitar pukul 07.00 pagi, dan tiba di tenda pukul 12 siang, sedikit ada insident di tengah perjalanan pulang, akibatkekurangan air para pendaki berlari dan ada salah seorang pendaki yang terkilir dan harus dibantu berjalan, menipisnya air membuat sy panik dan sedikit tertipu oleh fatamorgana, begini ceritanya, ketika di tengah perjalanan sy melihat bayangan seperti air di bawah sungai dari kejauhan kira-kira 1 Km, kami rela memasuki semak-semak hingga tersayat alang-alang, setibanya di tujuan, yahhh.... ternyata tidak ada air. akhirnya kami memakan buah bidara yang terlihat matang, mungkin sedikit bermanfaat untuk menghilangkan rasa haus.
Sesampai di bawah, akibat tidak tahan akan haus, sebagian pendaki meminum air laut, karenan memang masih jauh dari tenda, alih-alih dahaga hilang yang ada malah muntah. Ya namanya juga darurat kehabisan air.
Sesampai di tenda segera kami melepas lelah dengan meminum langsung di sungai jernih di dekat tenda, sebagian pendaki ada yang langsung mandi menceburkan diri dan sebagian lainya memasak nasi dan lauk. Kami kembali pulang bertolak dari pulau pukul 13.00 Wita dan sampai pada pukul 15.30 Wita di wera Sangiang.
Demikian sekilas kisah ekspedisi Sangiang, ini tulisan nostagia sebelum hilang diingatan, semoga bermanfaat bagi pembaca khususnya pagi para pelaku di dalam kisah ini.
Sumber foto: https://citaariani.wordpress.com
Post a Comment