Senin, (29 February 2016) - Peternakan kemitraan atau bisa juga disebut dengan Inti - plasma merupakan usaha peternakan yang bekerjasama dengan suatu perusahaan, baik perusahaan itu bersifat mandiri maupun kepanjangan dari perusahaan besar (anak perusahaan / integration).
Biasanya dalam kerjasama ini peternak cukup menyediakan kandang beserta kelengkapannya (tempat pakan, minum dan lainnya) dan tentu saja harus sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan yang bertindak sebagai pihak pertama. Sedangkan perusahaan bertanggung jawab menyediakan bibit, pakan serta obat-obatan untuk jangka waktu sampai ayam itu bisa dipasarkan, biasanya sampai umur 35 hari.
Performance merupakan tampilan yang
muncul dari potensi genetik ternak itu sendiri yang biasanya diturunkan
dari induk, khusus untuk broiler biasanya sudah dikembangkan sedemikian
rupa agar bisa tumbuh cepat dan bisa dipanen dalam waktu 35 hari dengan
bobot 2 kg (tergantung potensi genetik dan jenis strain broiler).
Performance secara teori ilmu genetika dapat dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor genetik (G) dan faktor eksternal (E) atau dengan rumus P = G + E, faktor genetik biasanya bersifat tetap dan pengaruhnya cenderung lebih rendah ketimbang faktor eksternal yaitu hanya bisa mencapai 30 - 40 %, sedangkan faktor eksternal bisa berpengaruh antara 60 - 70%. (Anonim, 2014)
Sebagaimana yang sudah saya sebutkan sebelumnya, faktor G cenderung lebih kecil karena memang ini sudah bawaan dari seleksi genetik dan bersifat baka. Sedangkan E dipengaruhi oleh berbagai macam faktor entah itu dari manajemen peternak, pakan, air minum, penyakit, konstruksi kandang (lebar dan panjang), jumlah populasi, kondisi lingkungan (lembab dan panas), iklim (hujan dan kemarau), sirkulasi udara serta faktor-faktor eksternal lainya.
Jenis broiler yang disuplai dikemitraan yang dibahas di sini yaitu jenis CP 707, CP broiler merupakan hasil persilangan galur murninyang unggul dan rekayasa genetika, dengan cara FCR rendah, pola pertumbuhan cepat dan lebih selektif (daging dada lebih banyak). Broiler ini peka terhadap perubahan dan mudah stres, pertumbuhan bulu lambat dan memerlukan formulasi pakan yang baik. CP broiler disediakan untuk pelanggan sebagai "satu produk untuk semua pasar". Pertumbuhan yang cepat pada umur-umur awal dan pada umur yang lebih tua akan menghasilkan daging dada yang baik. konversi pakan yang rendah dan daya tahan hidup yang baik.
Pada jenis CP ini menggunakan strain Cobb , strain Cobb sendiri dikembangkan dan populer di lebih dari 60 negara. Strain ini memiliki fokus pengembangan untuk memperbaiki performa rasio pemberian pakan (Food Convertion Ratio, FCR). Secara genetik, strain ini dikembangkan untuk memiliki pembentukan daging dada. Mudah beradaptasi di lingkungan iklim tropis yang panas seperti Kalimantan dan memiliki potensi gentik dengan bobot 2 kg pada umur 35 untuk jantan dan 1.9 kg untuk betina (Cob-Vantress).
Masalah yang sering timbul di lapangan yaitu masalah performance, di mana setiap periode hampir 70% peternak menghasilkan performance yang tidak optimal dan jauh dari yang diharapkan sebagaimana potensi genetik yang dimiliki strain Cobb. Masalah ini hampir setiap periode selalu dikeluhkan oleh peternak, tentu saja tidak ada yang mereka salahkan selain bibit dan bibit. Ini seolah menjadi kambing hitam di setiap periode.
Saya tidak menafikan sebanyak 30% peternak ada yang berhasil dan performance yang dihasilkan sesuai dengan potensi genetik bibit dengan Feed Convertion Rasio (FCR) 1.6 - 1.7, FCR adalah jumlah pakan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan 1 kg daging artinya jika FCR 1.6 maka dibutuhkan 1.6 kg pakan untuk menghasilkan 1 kg daging, semakin kecil FCR maka semakin efisien penggunaan pakan, efisien yang dimaksud di sini yaitu pakan yang diberikan terserap secara optimal dan nutrisinya tidak terbuang percuma melalui feses.
Sebagai orang lapangan yang langsung berinteraksi dengan peternak, kebanyak yang berhasil yang saya lihat yaitu pertama, peternak yang memiliki lebar kandang 6 M dan di bawahnya (4-6 M), kedua peternak yang memiliki kadang di tanah lapang yang tentu saja memiliki sirkulasi udara yang cukup baik atau yang memakai kipas yang memadai, dan yang telaten dalam hal manajemen (waktu pelebaran yang tepat, sekam yang nyaman dan suhu brooding yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan umur) serta yang sering mengambil kotoran di bawah kandang (biasanya 3 kali diambil dalam 1 periode).
Jika dibandingkan dengan 70% peternak yang gagal maka dapat dijumpai secara umum kebanyakan bermaslah pada manajemen, seperti pelebaran brooding yang terlambat, sekam/gabuk yang tidak nyaman (basah dan menggumpal) yang tidak diganti, manajemen buka - tutup tirai yang tidak baik sehingga sirkulasi udara sangat buruk yang pada akhirnya bermuara pada terganggunya potensi bibit yang seharusnya bisa muncul malah terhambat oleh faktor E sebagaimana yang sudah saya sebutkan sebelumnya, selain itu kotoran di bawah kandang juga menjadi salah satu penyebab terganggunya pertumbuhan ayam, kebanyakan peternak yang memiliki performance kurang optimal yaitu peternak yang mengambil langsung kotorannya setelah panen.
Dan masalah cukup serius yaitu peternak selalu tidak MAU TAHU jika mereka salah dalam hal manajemen (sulit diajak maju). Ini menjadi tantangan tersendiri bagi petugas lapangan, bagaimana agar peternak mau diajak maju, agar bisa sukses dalam usahanya.
Dari semua kasus yang saya perhatikan termasuk yang telah saya paparkan di atas, dapat disimpulkan secara umum performance yang tidak optimal disebabkan oleh faktor E, dan dari faktor E ini lebih sering karena masalah Manajemen peternak (termasuk kotoran di bawah kandang) dan sirkulasi udara dalam kandang, baik itu sirkulasi udara di masa brooding maupun setelahnya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena terkait dengan tingkatan stress ayam, lebih sering ayam stress maka peluang munculnya potensi genetik pun semakin kecil yang pada akhirnya merugikan peternak itu sendiri.
Post a Comment