Sepenggal Kisah Masa Jepang Di Bima - Saya lahir di desa Talabiu Bima 13 Juli 1925. Hal itu saya ketahui karena kebiasaan orang tua saya menuliskan kelahiran putera-puterinya di tiang-tiang rumah. Di usia sekitar 7 tahun saya masuk di sekolah Desa di Tente selama 5 tahun, kemudian melanjutkan ke sekolah Uvernement selama 2 tahun dan sekolah pertanian (Landbow Class di Tente selama satu tahun.Boleh dibilang, saya merupakan salah satu putera daerah yang sangat intens menekuni sekolah pertanian. Sultan Muhammad Salahuddin waktu itu sangat memperhatikan kiprah sekolah ini untuk membangun pertanian di tanah Bima.
Berkaitan dengan masuknya Jepang di Bima, saya tidak ingat persis tanggalnya, waktu itu musim kering, pasukan Jepang berlabuh di pelabuhan Bima pada tahun 1942. Saat itu saya baru mulai mengajar di sekolah pertanian yang dibentuk Belanda. Kami senang ketika mendengar Jepang masuk, karena mereka adalah sosok saudara tua sebagai sesama bangsa Asia. Beberapa bulan setelah menginjakkan kaki ke Bima, Jepang mulai merubah seluruh tatanan kehidupan politik, ekonomi, maupun pendidikan. Sekolah –sekolah yang dibangun Belanda itu diganti dengan sekolah berbahasa Jepang, termasuk sekolah Landbow(Pertanian) itu diganti dengan Nama NogiyoGako( Sekolah Pertanian).
Beberapa hari setelah nama sekolah itu diganti, Sultan Muhammad Salahuddin memanggil saya di Istana. Saat itu beliau menanyakan tentang berbagai kemajuan dan kendala yang dihadapi di NogiyoGako Lewirato. Beliau menginginkan salah seorang guru dari sekolah itu untuk melanjutkan pendidikan ke Singaraja Bali untuk terus memajukan sekolah pertanian maupun kiprah para penyuluh pertanian di masyarakat dengan bea siswa dari Pemerintah Kesultanan Bima. Saya terima tawaran itu, berangkatlah saya ke Singaraja. Satu tahun lamanya saya menuntut ilmu di pulau Dewata itu. Pada tahun 1943, saya kembali ke Bima.
Keadaan Bima semakin tidak menentu. Jepang semakin kasar. Masyarakat disuruh Romusya untuk membangun jalan, instalasi militier, lubang persembunyian dan bahkan membangun Bandara di Palibelo. (Cikal Bakal Bandara Sultan Muhammad Salahuddin sekarang).
Perumahan di sekitar Bandara itu dicat dengan warna hitam, agar tidak dilihat oleh pesawat-pesawat sekutu yang setiap saat mengudara di langit Bima. Karena dicat hitam, rumah-rumah itu disebut oleh masyarakat Bima dengan “ Uma Me’e” (Rumah Hitam). Banyak korban berjatuhan sebagai syuhada di sekitar Pantai Lewa Mori dan Bandara Palibelo akibat kerja Romusha yang diterapkan Dai Nippon. Itulah sebabnya kenapa pantai itu disebut dengan Lewa Mori, karena di pantai itulah masyarakat Bima berjuang antara hidup dan mati membangun ambisi “ Saudara Tua” untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya.
Tidak hanya itu, kebun-kebun rakyat dijadikan barak penampungan para wanita dari tanah Jawa maupun Sumatera untuk melampiaskan nafsu prajurit Dai Nippon. Di sepanjang jalan Soekarno - Hatta –jembatan penatoi hingga Sadia adalah barak-barak penampungan itu. Ada juga sebagian di Rabangodu dan kampung Melayu. Setiap hari tentara Jepang bergiliran datang ke barak itu. Saya sering melewati tempat itu dan kami tidak disuruh menoleh ke arah barak, kami jalan lurus saja karena takut dengan hukuman Tentara Dai Nippon. Kadang-kadan kami pun berpapasan dengan perempuan-perempuan itu ketika keluar untuk belanja dan keperluan lainnya. Mereka masih sangat muda, putih dan cantik-cantik. Dari senyum yang terurai di bibirnya, ada sebuah harapan yang tersembunyi dan ingin mereka katakan. “ Selamatkanlah kami, kembalikan kami ke tanah leluhur.”
Suatu senja, saya kebetulan lewat Barak itu menuju ke NagiyoGako. Saya berpapasan dan membernaikan diri bertanya kepada salah seorang penghuni barak itu asal pulau Jawa.Saya tidak ingat namanya. Dia menuturkan bahwa mereka di bawa ke Bima untuk dijadikan perawat dan pekerja di kantor-kantor perwakilan Jepang. Mereka tidak menyangka kalau nasib mereka akan menjadi seperti itu, pelampias nafsu para tentara Jepang. Mereka pasrah pada keadaan itu, dan terus berdoa semoga mereka bisa kembali ke Jawa dan menajalani hidup dengan normal.
Bagaimana dengan gadis-gadis Bima ? Adakah yang diambil Jepang sebagai Ianfu ?
Tidak ada satu pun Gadis Bima yang dibawa Jepang menjadi IANFU. Hanya saja ada beberapa perempuan Bima yang sering dibawa Jepang ke Barak penampungan untuk diperkerjakan sebagai tukang cuci, tukang masak, tukang pijit dan lain-lain. Salah seorang yang saya kenal bernama MINA NANGKO ( Nama Bimanya Aminah) asal Sape. Dia memang sering dibawa Jepang ke Barak Penampungan, tetapi sore hari dia kembali ke rumahnya.
Tahun 1944 adalah torehan waktu yang tidak akan pernah saya lupakan dalam sejarah hidup saya. Beberapa bulan setelah saya menikah pasar Bima dibom oleh sekutu. Pelataran Istana pun dibom, Masjid Kesultanan Bima rata dengan tanah dan tinggal mihrabnya saja yang berdiri. Untuk menjaga keselamatan Sultan Muhammad Salahuddin dan keluarganya, Jepang membawanya ke Desa Dodu. Karena desa itu terlindung oleh gunung-gunung dan serangan udara Sekutu.
Di tengah kepanikan yang luar biasa itu, Jepang mengeluarkan keputusan dan permintaan yang sangat bertolak belakang. Mereka meminta gadis-gadis Bima untuk dikirim dan dipekerjakan sebagai pelayan bar, perawat maupun pegawai kantor perwakilan Jepang di Jawa dan Sumatera. Permintaan itu disampaikan langsung kepada sultan Muhammad Salahuddin, para Jeneli (Camat) maupun Gelarang (Kepala Desa). Seluruh Jeneli dan Gelarang menolak permintaan itu. Secara spontan Sultan Muhammad Salahuddin mengeluarkan ultimatum kepada para orang tua untuk sesegera mungkin menikahkan puterinya agar tidak diambil oleh Jepang. Diutamakan pernikahan dilakukan dengan keluarga dekat, supaya prosesnya cepat.
Berkaitan dengan masuknya Jepang di Bima, saya tidak ingat persis tanggalnya, waktu itu musim kering, pasukan Jepang berlabuh di pelabuhan Bima pada tahun 1942. Saat itu saya baru mulai mengajar di sekolah pertanian yang dibentuk Belanda. Kami senang ketika mendengar Jepang masuk, karena mereka adalah sosok saudara tua sebagai sesama bangsa Asia. Beberapa bulan setelah menginjakkan kaki ke Bima, Jepang mulai merubah seluruh tatanan kehidupan politik, ekonomi, maupun pendidikan. Sekolah –sekolah yang dibangun Belanda itu diganti dengan sekolah berbahasa Jepang, termasuk sekolah Landbow(Pertanian) itu diganti dengan Nama NogiyoGako( Sekolah Pertanian).
Beberapa hari setelah nama sekolah itu diganti, Sultan Muhammad Salahuddin memanggil saya di Istana. Saat itu beliau menanyakan tentang berbagai kemajuan dan kendala yang dihadapi di NogiyoGako Lewirato. Beliau menginginkan salah seorang guru dari sekolah itu untuk melanjutkan pendidikan ke Singaraja Bali untuk terus memajukan sekolah pertanian maupun kiprah para penyuluh pertanian di masyarakat dengan bea siswa dari Pemerintah Kesultanan Bima. Saya terima tawaran itu, berangkatlah saya ke Singaraja. Satu tahun lamanya saya menuntut ilmu di pulau Dewata itu. Pada tahun 1943, saya kembali ke Bima.
Keadaan Bima semakin tidak menentu. Jepang semakin kasar. Masyarakat disuruh Romusya untuk membangun jalan, instalasi militier, lubang persembunyian dan bahkan membangun Bandara di Palibelo. (Cikal Bakal Bandara Sultan Muhammad Salahuddin sekarang).
Perumahan di sekitar Bandara itu dicat dengan warna hitam, agar tidak dilihat oleh pesawat-pesawat sekutu yang setiap saat mengudara di langit Bima. Karena dicat hitam, rumah-rumah itu disebut oleh masyarakat Bima dengan “ Uma Me’e” (Rumah Hitam). Banyak korban berjatuhan sebagai syuhada di sekitar Pantai Lewa Mori dan Bandara Palibelo akibat kerja Romusha yang diterapkan Dai Nippon. Itulah sebabnya kenapa pantai itu disebut dengan Lewa Mori, karena di pantai itulah masyarakat Bima berjuang antara hidup dan mati membangun ambisi “ Saudara Tua” untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya.
Tidak hanya itu, kebun-kebun rakyat dijadikan barak penampungan para wanita dari tanah Jawa maupun Sumatera untuk melampiaskan nafsu prajurit Dai Nippon. Di sepanjang jalan Soekarno - Hatta –jembatan penatoi hingga Sadia adalah barak-barak penampungan itu. Ada juga sebagian di Rabangodu dan kampung Melayu. Setiap hari tentara Jepang bergiliran datang ke barak itu. Saya sering melewati tempat itu dan kami tidak disuruh menoleh ke arah barak, kami jalan lurus saja karena takut dengan hukuman Tentara Dai Nippon. Kadang-kadan kami pun berpapasan dengan perempuan-perempuan itu ketika keluar untuk belanja dan keperluan lainnya. Mereka masih sangat muda, putih dan cantik-cantik. Dari senyum yang terurai di bibirnya, ada sebuah harapan yang tersembunyi dan ingin mereka katakan. “ Selamatkanlah kami, kembalikan kami ke tanah leluhur.”
Suatu senja, saya kebetulan lewat Barak itu menuju ke NagiyoGako. Saya berpapasan dan membernaikan diri bertanya kepada salah seorang penghuni barak itu asal pulau Jawa.Saya tidak ingat namanya. Dia menuturkan bahwa mereka di bawa ke Bima untuk dijadikan perawat dan pekerja di kantor-kantor perwakilan Jepang. Mereka tidak menyangka kalau nasib mereka akan menjadi seperti itu, pelampias nafsu para tentara Jepang. Mereka pasrah pada keadaan itu, dan terus berdoa semoga mereka bisa kembali ke Jawa dan menajalani hidup dengan normal.
Bagaimana dengan gadis-gadis Bima ? Adakah yang diambil Jepang sebagai Ianfu ?
Tidak ada satu pun Gadis Bima yang dibawa Jepang menjadi IANFU. Hanya saja ada beberapa perempuan Bima yang sering dibawa Jepang ke Barak penampungan untuk diperkerjakan sebagai tukang cuci, tukang masak, tukang pijit dan lain-lain. Salah seorang yang saya kenal bernama MINA NANGKO ( Nama Bimanya Aminah) asal Sape. Dia memang sering dibawa Jepang ke Barak Penampungan, tetapi sore hari dia kembali ke rumahnya.
Tahun 1944 adalah torehan waktu yang tidak akan pernah saya lupakan dalam sejarah hidup saya. Beberapa bulan setelah saya menikah pasar Bima dibom oleh sekutu. Pelataran Istana pun dibom, Masjid Kesultanan Bima rata dengan tanah dan tinggal mihrabnya saja yang berdiri. Untuk menjaga keselamatan Sultan Muhammad Salahuddin dan keluarganya, Jepang membawanya ke Desa Dodu. Karena desa itu terlindung oleh gunung-gunung dan serangan udara Sekutu.
Di tengah kepanikan yang luar biasa itu, Jepang mengeluarkan keputusan dan permintaan yang sangat bertolak belakang. Mereka meminta gadis-gadis Bima untuk dikirim dan dipekerjakan sebagai pelayan bar, perawat maupun pegawai kantor perwakilan Jepang di Jawa dan Sumatera. Permintaan itu disampaikan langsung kepada sultan Muhammad Salahuddin, para Jeneli (Camat) maupun Gelarang (Kepala Desa). Seluruh Jeneli dan Gelarang menolak permintaan itu. Secara spontan Sultan Muhammad Salahuddin mengeluarkan ultimatum kepada para orang tua untuk sesegera mungkin menikahkan puterinya agar tidak diambil oleh Jepang. Diutamakan pernikahan dilakukan dengan keluarga dekat, supaya prosesnya cepat.
Suasana panik terjadi dimana-mana. Dalam satu keluarga terdapat dua sampai lima pasang pengantin yang dinikahkan. Setiap hari ratusan pasangan pengantin dilangsungkan ijab Kabul. Penghulu sangat kelelahan naik turun rumah panggung untuk proses akad nikah.pernikahan dilangsungkan dengan sangat sederhana, hanya dengan kopi dan jajanan. Itulah sejarah yang mungkin tidak pernah terjadi di negeri manapun di muka bumi ini. Orang tua para gadis mencarikan jodoh untuk anak gadisnya. Kadang yang lakinya ganteng, tetapi yang ceweknya jelek, demikian juga sebaliknya, mereka tidak pernah pecaran seblumnya, cinta mereka bangun setelah menikah. Peristiwa itulah dalam sejarah Bima dikenal dengan Nika Baronta.
Yang tidak sempat dinikahkan, para gadis disembunyikan di atas loteng rumah. Kadang-kadang mereka menetap dibawah kolong-kolong rumah, bergelut dengan tanah liat untuk membuat periok dan perlengkapan rumah tangga dari tanah liat. Kadang juga mereka berdandan seperti nenek-nenek. Sehingga menyurutkan niat Dai Nippon untuk membawa dan mengambil mereka untuk dijadikan JUGUN IANFU.
Setelah Jepang Kalah Perang dan Seokarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan, para wanita itu dibawa pulang ke tanah Jawa dan Sumatera. Beberapa bulan kemudian tersiar kabar bahwa mereka ditenggelamkan dan dibunuh di tengah lautan. Tidak satupun di antara mereka yang kembali ke tanah Jawa. (Dari Penuturan langsung almarhum H.Abubakar Ismail, Ketua Legium Veteran Bima).
Sumber: Oleh bapak Alan Malingi
Post a Comment